Untuk Anda calon ibu muda, sudah harus memperhatikan pendidikan si kecil sejak dini. Menurut data, perkembangan berpikir anak berkembang pesat saat balita. Ini juga bisa membuat si anak giat sekolah. Usia balita, dan terutama pada usia 3-8 tahun, adalah saat di mana otak dan intelegensi anak berkembang dengan sangat pesat. Inilah saat yang tepat untuk mengoptimalkan pembentukan kecerdasannya, karena setelah usia itu berlalu perkembangan kecerdasannya pun menurun.
Mengapa pada usia balita? Menurut Bobbi DePorter dalam buku Quantum Learning, di tahun-tahun pertama kehidupan inilah fungsi motor sensorik bekerja. “Pada usia 1 atau 2 tahun, otak motor sensorik sudah cukup berkembang dan terjadi peningkatan luar biasa dalam jalinan-jalinan serabut saraf otak serta emosional kognitifnya juga bekerja,” tulisnya.
Baik Bobbi maupun Reni sepakat bahwa pada usia inilah, struktur neuro motor sensorik dan kognitif emosionalnya berkembang hingga 80%. “Setelah usia ini, perkembangan otak melambat, sehingga agak terlambat bila orangtua baru memberikan stimulasi pada anak setelah ia memasuki usia sekolah,” terang Reni, “Apalagi pada usia sekolah, anak sudah banyak dikontaminasi dengan berbagai hal yang mulai ia mengerti.”
Ada banyak faktor yang harus diperhatikan dalam mengoptimalkan kecerdasan. Pada anak balita, pemberian stimulasi atau rangsangan terhadap panca indera (telinga, mata, hidung, mulut, dan kulit) sangat penting untuk merangsang perkembangan kerja otak. “Pemberian stimulasi ini bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, misalnya dengan mengajak balita mendengarkan suara air, mencicipi berbagai rasa, mengenal warna dan bau,” contohnya.
Pemberian stimulasi pun harus dengan cara yang menyenangkan, yaitu dalam bentuk permainan. “Anak balita sebenarnya mempunyai daya tangkap yang luar biasa. Dengan cara bermain yang menyenangkan, mereka akan mampu menerima stimulasi yang diberikan dan membantu melatih otak bekerja secara pesat dan maksimal,” jelas psikolog yang juga seorang konsultan ini. “Pengajaran yang serius pada anak balita, sebenarnya sudah menyalahi peraturan.”
Hanya Mengoptimalkan IQ
Menanggapi berbagai macam pelatihan yang menyatakan mampu meningkatkan kecerdasan, bagi Reni, semua itu sifatnya sah-sah saja. Namun sebaiknya orangtua memahami, bahwa skala IQ seseorang bersifat herediter atau nature. “Bila memang seorang anak mempunyai IQ di kelas rata-rata (90-109), maka kelas IQ-nya tidak dapat ditingkatkan lebih tinggi lagi.”
Ia mengakui, pengetahuan masyarakat awam masih kurang dalam hal mengoptimalkan kecerdasan si kecil. Akibatnya kapasitas kecerdasan yang dimiliki anak masih belum diasah seoptimal mungkin. “Umpama sebuah gelas, gelas yang dimiliki anak tersebut belum terisi penuh, sehingga masih belum optimal. Nah, di sinilah fungsi kursus-kursus itu, yakni untuk mengisi gelas tersebut hingga penuh.”
Yang sangat disayangkan, bahkan pemerintah sendiri dalam membuat kurikulum di sekolah lebih menekankan pengembangan IQ semata. Padahal dalam ilmu psikologi, IQ hanya menyumbang 20% saja dari unsur kecerdasan yang dimiliki seorang manusia. Kecerdasan lainnya yang berjumlah 80%, tersebar pada unsur EQ, CQ, AQ dan SQ. “Jadi salah bila kita mengikur kecerdasan hanya dari IQ-nya saja.”
Kesalahan ini akibat kita masih melihat kecerdasan yang dimiliki manusia secara fragmentic atau terbagi-bagi. Padahal, terang Reni, kecerdasan manusia sebenarnya harus dilihat secara holistik atau kesatuan. “Sehingga bila ingin meningkatkan kecerdasan secara optimal, kelima unsur kecerdasan tersebut harus diberikan stimulasi secara seimbang.”
Pada beberapa waktu lalu, terang Reni, ada seorang mahasiswa UI yang melakukan penelitian terhadap berbagai kursus yang menyatakan mampu meningkatkan kecerdasan. “Saya kurang tahu persis detailnya, tapi hasil dari penelitian tersebut cukup mencengangkan,” ungkapnya. “Sebab setelah diteliti, dari anak yang mengikuti kursus dengan yang tidak, hasilnya sama saja.”
Seimbang Otak Kiri & Kanan
Kesalahan lain yang juga disayangkan Reni adalah terfokusnya berbagai mata pelajaran pada pengembangan otak kiri saja. Padahal, yang terbaik adalah mengembangkan kedua bagian otak itu secara seimbang. “Kursus-kursus yang ada sekarang ini juga lebih banyak merangsang fungsi otak kiri saja,” jelas Reni.
Secara ilmiah, Bobbi menerangkan bahwa otak manusia sebenarnya terbelah menjadi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Pada beberapa eksperimen yang telah dilakukan, kedua belahan otak ini sebenarnya mengemban ‘tugas’ masing-masing dalam cara berpikir. Masing-masing juga punya spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walau ada beberapa persilangan dan interaksi antara kedua sisi.
Tugas otak kiri, adalah melakukan proses berpikir yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas yang teratur, seperti ekspresi verbal dalam menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fenotik serta simbolik.
Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat non-verbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran ruang, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Begitu pentingnya kedua belahan otak ini, sehingga bila keduanya mampu berkembang secara seimbang, akan mempermudah seseorang untuk belajar, karena mereka mempunyai pilihan untuk menggunakan bagian otak mana yang diperlukan. Nah, bila Anda telah terlanjur menekankan pada otak kiri, menurut Bobbi sebaiknya perlu dimasukkan musik dan estetika dalam pelajaran si kecil.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar